Chapter 1 - Puri Bali Bungalows

Hari itu di tahun 1981, sepasang suami-istri dari Denpasar dengan sangat gembira baru saja menyelesaikan transaksi membeli sebidang tanah di pinggir pantai di Jimbaran.
Inilah cita-cita yang selama ini diidamkan: untuk membuat hotel.
Semua tenaga, pikiran, tabungan dan modal yang ada dengan senang hati akan dicurahkan di sini.

Ketika itu pusat peradaban ada di Denpasar.
Segala kegiatan utama seperti transportasi, perdagangan, sekolah, perbankan dan ketersediaan lainnya, hanya ada di sana.
Pariwisata sedang pada masa awal berkembang. Untuk daerah Selatan, terutama area Legian, Kuta.
Para pelaku usaha berlomba-lomba berusaha di Kuta yang pada saat itu masih sangat sepi bila dibandingkan sekarang (2025).

Adalah pilihan yang sangat aneh bagi pasangan ini untuk memulai usaha hotel di Jimbaran..


Selanjutnya dokumentasi ini akan berisi potongan-potongan catatan yang disusun secara kronologis bila memungkinkan.

Pembelian Tanah

Sama seperti semua pelaku usaha lainnya, I Gusti Ketut Putra (suami) pun awalnya sangat berkeinginan memiliki tanah di Kuta untuk memulai usaha hotelnya.
Sebidang tanah seluas 20 are (2000 meter persegi) di Jl. Padma, Legian menjadi incaran utama yang sangat diidamkan.
Tapi sayang negosiasi tidak berjalan sesuai harapan, karena kendala dana. Saat itu kemampuannya maksimal untuk membeli tanah hanya sebesar 60 juta rupiah. Sedangkan pemilik tanah itu tidak mau menjual kurang dari 80 juta.
Hilang sudah kesempatan itu..

Beberapa waktu kemudian, ada pelanggan dari Jimbaran yang kebetulan berbelanja di Toko Sriharta milik Putu Raka Anggreni (istri) di lantai dasar Pasar Kumbasari, Denpasar. Pelanggan ini menginformasikan tanah dijual di Jimbaran.
Masih dalam suasana hati yang kecewa, sang suami pergi untuk melihatnya ke Jimbaran.

Lokasi dan harganya cocok. Tapi masih banyak sekali kendala dan usaha yang harus dilakukan untuk membuatnya layak pakai.
Tidak ada listrik. Tidak ada air tawar, hanya air payau. Jalan masuk yang sempit. Tumbuhan liar di sepanjang pantai yang menyebarkan banyak bola-bola kecil berduri. Bangkai ikan yang berserakan dan bau menyengat dari banyaknya ikan-ikan yang dikeringkan dengan cara dijemur. Untungnya bau menyengat itu tidak tercium langsung di lokasi tanah ini.

Luas yang didapat adalah 125 are (12500 meter persegi). Jauh lebih besar daripada yang di Kuta, tapi juga dengan kendala yang jauh lebih berat.
Setelah dipikirkan dan dirundingkan bersama, akhirnya dibelilah tanah di Jimbaran ini.

Mewujudkan Impian

Berbekal semangat dan kebahagiaan atas kesempatan yang didapat serta bantuan dari segala pihak dan keluarga, dimulailah tahap demi tahap proses membentuk dan membangun lokasi ini supaya bisa menjadi hotel.

  • Pelebaran jalan masuk
    Berkat bantuan dari masing-masing pemilik tanah di sekitar jalan masuk itu, penduduk desa dan Lurah Jimbaran, Pak Mandi (Jimbaro) dengan senang hati merestui pelebaran jalan dan bahkan mempercayakan hak pengelolaan jalan itu sepenuhnya kepada Puri Bali, yang tertuang dalam sebuah perjanjian tertulis.
    Para pemilik tanah di sepanjang jalan itu, dan terutama klub sepak bola Jimbaran (Putra Perkanthi) dengan tulus merelakan sedikit pinggiran tanah masing-masing agar jalan menjadi cukup besar untuk bisa dilalui mobil. Mereka pun sadar dengan itu, akan memudahkan semuanya, juga meningkatkan nilai tanah mereka dan memajukan desa.
    Dan mulailah jalan itu diaspal dan dikelola oleh Puri Bali. Proses pengaspalan dan pendirian tembok pembatas dikerjakan oleh I Made Sukra.
    Di kemudian hari, jalan ini dinamakan Jl. Yoga Perkanthi, sebagai penghormatan atas kontribusi segenap penduduk dalam usaha memajukan pariwisata Jimbaran.

  • Air
    Setelah dilakukan pembuatan sumur bor beberapa kali, tetap saja sumber air tawar tidak ditemukan. Hanya air payau yang tersedia. Mungkin tidak berbahaya kalau diminum, tapi rasanya aneh, karena kebanyakan orang terbiasa dengan air tawar.
    Jadi diputuskan air payau digunakan untuk keperluan sehari-hari, kecuali untuk air minum tamu hotel nantinya.

  • Listrik
    Jimbaran adalah lokasi yang sangat jauh untuk ukuran saat itu. Penduduk masih mengandalkan lampu minyak dan strongking untuk penerangan. Kadang senter dengan batterai untuk emergency.
    Tapi tetap saja tidak tersedia listrik untuk alat-alat elektronik lainnya, terutama untuk keperluan hotel, seperti televisi, air-conditioner, hairdryer, mixer, dan lain-lain.
    Karena itu, dipasanglah mesin generator set diesel yang cukup besar, dengan suara yang sangat bising. Untuk mengurangi kebisingan, mesin diesel itu ditempatkan di dalam ruangan batako tertutup di pojok tanah.
    Selain bising, biaya operasional dan perawatan mesin ini juga cukup besar. Jadi hanya digunakan beberapa jam saja setelah matahari terbenam setiap harinya atau emergency.
    Perawatan dan perbaikannya dijaga oleh I Ketut Suwena yang kebetulan adalah seorang tetangga di Denpasar.

  • Ikan
    Salah satu sumber penghasilan di pantai itu adalah ikan. Kebanyakan penduduk adalah nelayan. Hebatnya, beberapa perahu kayu yang cukup besar dari luar pulau pun sering berlabuh di tengah laut selama beberapa hari. Karena ukurannya yang cukup besar, sangat tidak efisien untuk mendarat seperti perahu-perahu nelayan lokal yang kecil.
    Kebiasaan pada waktu itu adalah membuang begitu saja potongan-potongan atau ikan yang tidak diperlukan. Di laut maupun di pinggir pantai. Nantinya bagian yang tidak habis dimakan ikan atau pemangsa lainnya akan terdampar di pasir atau di pinggiran air.
    Jenis yang paling banyak dibuang adalah ikan hiu. Karena pada saat itu harganya sangat murah dan tidak enak dimakan. (Beberapa tahun kemudian baru digemari untuk shark fin soup).
    Jadi kegiatan sehari-hari pemilik dan staff diantaranya adalah memungut dan menguburkan sisa-sisa bangkai ikan ini, supaya pantai menjadi bersih dan nyaman digunakan. Bangkai ikan yang dikubur perlahan akan menjadi kompos.

    Proses pengeringan ikan dengan cara menjemur di terik matahari yang dilakukan penduduk menimbulkan bau yang sangat kuat. Untungnya hanya tercium setelah keluar beberapa meter dari areal hotel. Jadi tidak ada yang sangat dikhawatirkan dan yang terpenting mereka pun tetap dengan leluasa bisa melakukan semua kegiatannya tanpa terganggu.

  • Ranjau berduri
    Setelah rumput dan semak liar di sepanjang pantai dirapikan, menyisakan ribuan bola-bola kecil berduri yang kering dan ringan. Mirip bulu babi yang sangat kecil. Celakanya, ini sangat sulit untuk diambil dan dibersihkan dalam waktu singkat. Karena ukurannya yang kecil, mudah tersembunyi di balik rerumputan dan pasir.
    Walaupun setiap hari disapu dan digaruk dengan alat manual oleh para staff hotel, tetap saja tidak ada habisnya. Semua orang yang ke pantai pada masa itu pasti sempat menginjak bola duri kalau tidak memakai alas kaki. Cukup sakit, tapi tidak berbahaya dan tidak sampai berdarah. Mungkin rasanya seperti digigit beberapa nyamuk raksasa. Kadang bola-bola ini juga menempel di baju, celana, topi, tas atau handuk.
    Perlahan-lahan, setelah beberapa tahun seiring beroperasinya hotel, akhirnya bola berduri ini berhasil dibersihkan dengan tuntas. Sejak itu semua orang bisa berguling-guling dengan bebas di pasir dan berlari-lari tanpa alas kaki di rumput.

Pembangunan

Berbekal sisa modal yang ada, dimulailah pembangunan 11 bungalows (sekarang lebih populer dengan sebutan villa). 1 restoran di pantai dan 1 di belakang bungalow, 1 lobby/receptionist/kantor, 1 gudang dan 1 mess karyawan.
Bersamaan dengan itu juga dibangun Pelinggih Penunggun Karang di pojok pinggir pantai dan Penyawangan Merajan Jero Wayahan Tainsiat sebagai sarana pengingat keterhubungan dan keharmonisan dengan alam semesta.
Pengerjaan bangunan dipercayakan kepada Pak Sore.

Sambil membangun, proses perizinan juga berusaha dipenuhi sesuai dengan aturan yang berlaku.
Pada saat itu sektor pariwisata adalah hal yang cukup baru di Bali dan mungkin juga di seluruh Indonesia. Jadi beberapa peraturan yang tersedia belum 100% bisa memenuhi setiap kebutuhan pariwisata yang berbeda-beda.
Walaupun demikian, semua elemen masyarakat dan pemerintah Bali dengan giat berusaha membantu. Perlahan, satu demi satu perizinan mulai bisa terpenuhi, paling tidak untuk bisa beroperasi sambil melakukan perbaikan dan revisi.

Special untuk izin restoran di pantai, sangat beruntung diberikan dispensasi khusus oleh pemerintah sehubungan dengan jarak sepadan pantai. Sehingga posisi restoran ini diperbolehkan lebih jauh daripada yang lain atas rekomendasi para ahli di pemerintahan setelah mengkaji dengan baik struktur geologis pantai itu.
Selain aman dan nyaman, di restoran ini kita dapat menikmati keindahan alam lingkungan pantai Jimbaran dengan maksimal tanpa mengganggu aktivitas penduduk sehari-hari.

Beroperasi

Inilah saat yang ditunggu-tunggu..
Setelah melaksanakan upacara pemelaspasan, mohon restu dan berterima kasih, pada hari Purnama Kasa di tahun 1982 dalam kalender Bali (6 Juli 1982 pada saat itu di kalender internasional), Puri Bali Bungalows resmi mulai beroperasi.
Kemudiannya setiap tahun di hari Purnama Kasa, pemilik dan segenap staff akan berkumpul dan berdoa bersama sebagai ungkapan rasa terima kasih telah diberikan kesempatan untuk ikut menjadi bagian dari Jimbaran.

Melaspas
(dari kiri: Pemangku, I Gusti Kompyang Suri (Ibunya pemilik), I Gusti Ketut Putra (pemilik), Putu Raka Anggreni (istri/pemilik), I Made Sukra)

Losmen

Sejak awal beroperasi hingga saat ini, Puri Bali Bungalows sudah menerapkan standard pelayanan dan fasilitas boutique resort. Konsep yang amat sangat tidak umum di Bali pada saat itu dan belum ada kriterianya dalam syarat-syarat perizinan yang dimiliki pemerintah.
Pada saat itu pilihan perizinan dan klasifikasi yang ada hanya berdasarkan jumlah kamar dan fasilitas pendukung. Tidak memandang hal-hal lain.
Oleh karena itu Puri Bali Bungalows walaupun dengan standard boutique, tapi harus menggunakan izin Losmen karena hanya memiliki 11 kamar saja. Sehingga cukup menyulitkan untuk promosi ke luar negeri dan ketika menjelaskan kepada para tamu. Agak sulit bagi mereka untuk bisa memahami sebuah losmen dengan standard boutique resort. Sedangkan kebiasaan yang umum adalah memilih hotel berdasarkan jumlah bintangnya.

Ada satu kendala besar lagi...
Telepon
Jaringan telepon hanya ada di Denpasar dan tidak semua rumah tangga ataupun bisnis memiliki telepon. Sedangkan untuk jenis usaha ini, komunikasi adalah hal yang sangat penting.
Untuk mengatasi hal ini, digunakanlah jaringan radio CB sebagai sarana komunikasi internal.
Teknologi radio CB ini sendiri sangat populer dan sempat menjadi trend di Indonesia saat itu, semacam sosial media (kuno) di masa kini yang digemari tua dan muda.
Untungnya pada masa itu, belum ada aturan yang pasti mengenai frekuensi yang bisa dipakai. Jadi sangat banyak frekuensi kosong yang bisa digunakan supaya tidak bertabrakan dengan yang lainnya.

Tapi sayangnya ini hanya mengatasi sebagian masalah. Karena selain komunikasi internal, sangat penting untuk bisa berkomunikasi melalui telepon. Pilihan lain adalah Telex dan Faximili yang sangat mahal dan hampir tidak ada penjualnya. Selain itu, tetap memerlukan line telepon.

Rumah di Denpasar memiliki fasilitas telepon. Jadi didirikanlah menara tinggi di Denpasar dan di Jimbaran supaya bisa berkomunikasi melalui radio CB.
Idenya adalah: kalau ada panggilan telepon, terutama reservasi dari luar negeri bisa diterima dan dicatat di rumah, yang kemudian setelah itu akan dikomunikasikan melalui radio CB ke Jimbaran. Sehingga informasi bisa tersampaikan hampir real-time.

Kenyataanya... Jauh dari ideal. Tapi lumayan berguna.

  1. Karena keterbatasan jumlah orang dan juga telepon yang masuk sangatlah jarang, mungkin hanya beberapa minggu sekali awalnya, sangat tidak efisien menyediakan 1 orang staff hanya untuk keperluan ini di Denpasar.
    Karena kedua orang tua sepanjang hari bekerja di Jimbaran dan kakek-nenek juga bekerja di tempatnya masing-masing, anak-anaklah yang kebetulan lebih sering menerima panggilan telepon ini. Celakanya hanya dengan kemampuan bahasa inggris 0.5% saja :D
  2. Setelah pesan telepon dicatat (kemungkinan besar dengan catatan yang salah), sangat sulit untuk memanggil orang di Jimbaran melalui radio CB. Karena mereka pun sibuk bekerja di sana dan hanya sesekali melewati radio CB yang terhubung di sana. Sehingga tidak ada yang mendengar ketika ada panggilan di radio CB. Kadang dibutuhkan waktu hampir 1 jam memanggil-manggil tanpa jawaban dari Denpasar ke Jimbaran dan juga sebaliknya. Untuk mengurangi keletihan mulut memanggil, kemudian ditambahkanlah buzzer yang mengeluarkan nada tinggi aneh yang sangat mengganggu ketika ditekan (seperti suara alarm yang jelek) sebagai alat pemanggil yang lebih efektif.

Transportasi
Ruas-ruas jalan masih sepi. Taxi hanya ada di airport. Jaringan bemo yang cukup banyak hanya menjangkau area sekitar Denpasar. Untuk menghubungkan denpasar dengan wilayah lainnya, seperti Kuta, ada beberap bemo. Dari Kuta ke Tuban ada lebih sedikit dan dari Kuta ke Jimbaran sangat jarang.

Jalur penerbangan internasional juga tidak seperti sekarang. Pada masa itu, pesawat udara belum sanggup terbang dengan jarak tempuh seperti sekarang. Banyak penerbangan antara belahan bumi Utara dengan Selatan, seperti Amerika - Australia atau Eropa - Australia harus transit di Bali sebagai persiapan untuk dapat melanjutkan penerbangan ke negara tujuan.
Tak disangka, ternyata keadaan ini membawa peluang yang bagus.

Setiap malam, pemilik dan isitrinya setelah selesai mengurus keperluan anak-anaknya untuk sekolah keesokan harinya, duduk di restoran yang di pantai (Nelayan Restaurant). Selain menikmati alam Jimbaran sambil berelaksasi menguraikan keletihan, juga sambil mengamati aktivitas pesawat yang lalu-lalang di airport. Kala itu, pesawat internasional umumnya tiba di malam hari. Semua itu bisa terlihat dengan jelas dari restaurant dan juga sangat indah, seperti menyaksikan sebuah tarian kontemporer. Dimulai dengan visual pesawat udara yang kecil di kejauhan seperti gerakan slow motion di udara diselingi kerlip lampunya setiap beberapa saat. Beberapa saat kemudian semakin membesar dan terlihat semakin cepat dan diikuti dengan percikan kabut dan asap putih ketika roda pesawat bersentuhan dengan landasan saat mendarat. Setelah mendarat ia terlihat semakin besar dan terselimuti uap udara panas tercampur bahan bakar yang kemudian bergerak perlahan menghilang menuju lokasi parkirnya.
Sebuah pemandangan yang unik dan menarik... Anehnya itu semua terlihat seperti sebuah pertunjukan kolosal yang romantis. Tak disangka... Belum pernah terpikirkan sebelumnya bahwa menonton pesawat udara mendarat dan lepas landas akan begitu mengesankan. Melihat proses pesawat lepas landas di pagi yang sedikit berkabut juga benar-benar fantastis. Pikiran melayang... Setiap pendaratan bisa saja adalah sebuah permulaan baru bagi seeorang, harapan baru, cerita yang indah, perpisahan, kesedihan atau kisah cinta yang romantis, sebuah bisnis baru atau apa saja yang lainnya. Begitu juga untuk setiap lepas landas. Semuanya tanpa kita sadari telah saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Kembali ke cerita utama.
Setiap kali ada pesawat akan mendarat, pemilik segera berangkat menuju airport dengan mobil minibusnya. Sama seperti para pedagang di pasar ikan ketika perahu nelayan mendarat, ia akan menyambut para penumpang yang turun dari pesawat itu dan berusaha meyakinkan mereka untuk menginap di Puri Bali. Paling tidak hingga penerbangan mereka selanjutnya sudah siap lagi.
Hanya sedikit dari penumpang datang yang sudah memiliki reservasi ke tempat tujuan mereka. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak mempunyai tujuan yang pasti, hanya mengandalkan brosur kertas yang mereka bawa atau yang tersedia di airport, atau mengikuti kata-kata manis dari siapa saja yang ditemui di airport yang sepertinya menarik. Ini adalah hal umum dan normal di seluruh dunia pada saat itu.

Berkat kegigihan dan keberuntungan, walaupun dengan kemampuan menjelaskan yang agak terbatas, ada saja tamu yang terjaring. Atau mungkin mereka sudah kelelahan dan malas berpikir :) jadi tidak terlalu pilih-pilih. Terkadang di hari yang sangat baik bahkan bisa menjaring tamu melebihi kapasitas minibus yang dibawanya. Tapi bagaimana ini? Beberapa tamu tidak bisa dibawa saat itu juga di dalam minibus. Belum tentu juga mereka mau menunggu, apalagi kalau sampai dibujuk oleh orang lain untuk menginap di tempat lain.
Tanpa berpikir panjang pemilik menginstruksikan istrinya ataupun staff yang ada untuk segera datang hanya dengan mobil pickup beserta beberapa kursi yang ada. Jarak tempuh dari Puri Bali ke airport pada saat itu hanya 10 menit. Dalam sekejap mobil pickup yang dilengkapi kursi-kursi rotan seadanya tiba di airport dan berhasil membawa tamu ke lokasi.
Untungnya semua berjalan dengan lancar dan aman tanpa drama. Dan yang terpenting tidak ada tamu yang complaint dengan hal ini. Mereka semua tampak gembira, terkejut dan menganggapnya sebagai hal unik dan lucu. Duduk di atas mobil pickup dengan kursi biasa yang disusun berjejer di dalam bak adalah sebuah pengalaman menarik bagi mereka. Mungkin ekspektasi mereka mengenai Bali juga tidak tinggi, mengingat pada masa itu sangat banyak daerah di dunia yang masih jauh dari modern, apalagi Bali.

Setelah beberapa kali pengalaman di airport, kemudian berkenalan dengan beberapa sopir taxi. Pak Galung, .... dan .... yang selanjutnya juga sering membawakan tamu ke Puri Bali.

Teknologi
Di masa itu teknologi masih sangat kuno bila dibandingkan hari ini, saat artikel ini ditulis (2025). Cukup sulit membayangkan bagaimana kehidupan dan perekonomian pada saat itu berjalan tanpa adanya teknologi modern, terutama komputer dan internet. Pastinya sangat aneh dan berbeda. Mesin cuci, kulkas, televisi berwarna, radio AM/FM, calculator dan jam tangan diantaranya, masih merupakan barang mutakhir di Bali.

Pembayaran yang umum dilakukan oleh para tamu adalah dengan menggunakan uang cash asal negaranya masing-masing. Beberapa ada yang menggunakan Travellers Cheques dan Credit Card.
Dengan keterbatasan teknologi saat itu, ditambah dengan ketidak-tersediaan fasilitas penunjang di desa, perjalanan ke Denpasar harus sering dilakukan untuk menukar uang dan urusan perbankan lainnya. Bank swasta dan internasional belum tersedia di Kuta. Hanya ada penukaran uang di sana.
Cara menerima credit card pun pada saat itu cukup aneh. Menggunakan sebuah alat press untuk mencetak angka-angka yang tertera di credit card yang ditekan dan digeserkan secara manual pada lapisan kertas khusus dengan karbon di setiap lembarnya untuk menghasilkan kopian yang sama. 1 lembar disimpan pembayar, 1 lembar disimpan penerima dan lembar lainnya akan disetorkan ke bank untuk kemudian diproses agar uangnya bisa masuk ke rekening penerima. Biasanya memakan waktu 30 hari atau lebih. Jadi cukup membebankan cashflow untuk skala usaha ini.
Selain itu, tidak ada cara untuk mengetahui secara real-time apakah credit card itu bermasalah, seperti pemblokiran, penyalah gunaan, dan lain-lain. Awalnya hanya bisa diketahui setelah 30 hari diproses bank. Lama-kelamaan teknologi bank pun berkembang dan kemudian menyediakan buku tebal kepada seller untuk bisa memeriksa sendiri credit card sebelum digunakan. Dengan cara mencocokkan secara manual nomer credit card yang akan dipakai dengan kumpulan nomor blacklist yang ada di buku itu. Jumlahnya ribuan, karena mencakup hampir semua credit card di seluruh dunia. Untungnya sudah disortir dengan baik seperti buku telepon kuno, jadi tidak terlalu sulit untuk melihatnya.

Untuk urusan bank dan juga keperluan belanja bahan-bahan dan kebutuhan resort sehari-hari lainnya, dilakukan oleh Putu Raka Anggreni (istri/pemilik) yang juga menjemput anak-anaknya pulang sekolah dari Denpasar. Belanja harian ini sempat juga sebelumnya dibantu oleh orang tua pemilik yang tetap tinggal di Denpasar, setelah pasangan ini beserta anak-anaknya pindah dan tinggal di dalam resort.

Kebetulan semuanya itu terpusat di sekitar Jl. Gajah Mada, Denpasar, pusat perdagangan pada saat itu.
Perbankan ada di sana, supplier ada di sana, orang-tua masing-masing suami istri ini pun berjualan di sana. Toko Putri di lantai dasar Pasar Kumbasari, milik orang-tua sang suami dan Toko Yadnya di jalan utama, milik orang-tua sang istri. Selain itu juga beberapa supplier langganan yang sangat flexible kenalan mereka sebelumnya juga di sekitar sana. Toko Bali Jaya berawal di sebelah Toko Sriharta, kemudian berkembang menjadi supplier yang cukup terkenal di Kuta di masanya. Toko Tan di lantai dasar Pasar Badung yang menyediakan kebutuhan grosir yang cocok untuk keperluan saat itu. Dan tentu saja Toko Bahagia di jalan utama, yang kemudian mengembangkan usahanya Bali Bakery, yang telah memberikan kepercayaan dan kemudahan yang luar biasa kepada Puri Bali ketika suatu saat pernah kesulitan dalam melunasi tagihannya tepat waktu karena masalah cashflow yang di luar perhitungan normal.

Selain itu, sering kali tamu-tamu yang awalnya menginap hanya sebatas waktu transit saja, merasa nyaman dan menyukai keindahan Jimbaran dan pelayanan di Puri Bali. Banyak dari mereka yang ingin extend beberap hari lagi, supaya bisa menikmati waktu yang lebih banyak di sana. Lagi-lagi kantor-kantor penerbangan hanya ada di Denpasar. Jadi sekalian juga urusan extend tiket pesawat dilakukan di sela-sela hari itu.
Pada saat itu, urusan ini sering dibantu oleh Ibu Rapini yang bekerja di maskapai Qantas dan Ibu Rupini di maskapai Garuda.

Beberapa Peristiwa Penting

Di Jimbaran pada masa itu memiliki variasi flora dan fauna yang sepertinya lebih beragam daripada saat ini. Berbagai jenis ikan yang bervariasi dari yang kecil hingga yang sangat besar. Ikan hiu sepertinya sudah tidak ada lagi sekarang, mungkin habis diburu. Ikan lumba-lumba juga sudah lama tidak nampak lagi. Penyu sangat sering dijumpai pada waktu itu dan merupakan salah satu santapan sehari-hari. Dulu beberapa kali bayi orca pernah terdampar. Sekarang tidak lagi. Kadang-kadang setahun sekali terlihat ikan paus melintas di kejauhan. Mungkin sekarang semuanya menjauh semakin ke tengah laut karena semakin banyak orang dengan peralatan canggih dan lebih banyak aktivitas di laut yang membuat mereka terganggu.
Highlight yang penting adalah sekitar bulan Agustus - September, dulu biasanya ada gerombolan ikan kucing (sarden) yang memenuhi pinggiran ombak, kira-kira 3 meter dari pinggir pantai. Kemungkinan mereka berusaha menepi supaya susah diburu ikan predator besar. Ini adalah saat-saat yang seru bagi penduduk dan burung-burung laut di sana. Selama beberapa hari semua orang dengan mudahnya dapat menangkap ikan-ikan ini sebanyak yang mereka mau dalam keadaan hidup. Sangat mudah ditangkap, karena ikannya sangat banyak, seperti lapisan tembok di belakang ombak.
Burung-burung juga berpesta.
Jenis burung juga bervariasi. Di pagi hari sering terlihat burung camar dan cormorant berwarna coklat. Di siang hari ada burung ala-alap dan elang yang sering berusaha memangsa anak-anak ayam peliharaan penduduk yang berkeliaran. Burung gagak juga banyak melayang di angkasa. Di malam hari ada beberapa kelompok burung kedidi (sanderling) yang sangat lucu berlari-lari mengejar dan menghindari ombak sambil mengutip makanan dari dalam pasir yang basah.
Di dalam pasir basah ini ada bermacam-macam jenis kehidupan. Kepiting besar dan kecil, ribuan kerang remis yang juga adalah makanan populer di Surabaya (Soto Kupang), dan binatang-binatang kecil lainnya.
Di darat, di atas pohon kelapa juga ada binatang yang unik. Kepiting raksasa yang tinggal di pucuk pohon kelapa, berkamuflase di antara buah kelapa. Sepertinya sekarang sudah tidak ada lagi di sana. Mungkin sudah habis dimakan, dimangsa atau mungkin mereka pindah ke lokasi yang lebih sepi dan aman.

  • Badai
    Pada suatu saat di bulan Desember, angin sangat kencang dan juga hujan yang lebat. Selama beberapa minggu angin bertiup sangat kencang sehingga ombak laut sangat kacau. Bahkan ketika berjalan di pantai terasa terdorong oleh angin, seperti berjalan sambil mendorong tembok yang tidak terlihat. Butiran pasir di permukaan yang kering beterbangan dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sakit dan sedikit perih ketika terkena bagian kulit. Biasanya bagian kaki yang sangat terasa. Seperti ditabrak ribuan nyamuk tanpa henti. Sensasi yang aneh. Tapi anak-anak sangat menyukainya. Mereka dengan senang sengaja mondar-mandir di sana. Lubang bekas pijakan kaki di pasir akan segera terkubur rata kembali terisi pasir yang beterbangan hanya dalam hitungan detik.

    Pada suatu pagi, sebelum matahari terbit, angin yang sangat kencang telah menerbangkan atap restoran di pantai. Uniknya atap ilalang ini tetap dalam bentuk kesatuannya seperti semula dan mendarat beberapa meter dari restoran. Untungnya mendarat di area kosong. Jadi tidak terlalu banyak kerusakan yang terjadi.
    Setelah itu, atap restoran di pantai kemudian diperbaiki dan diperkuat menjadi lebih aman.

  • Candi Bentar
    Seiring kemajuan resort, beberapa bungalows tambahan dibangun dan 1 lapangan tenis. Juga mess karyawan ditambah dan disediakan dapur spesial bagi mereka untuk bisa beristirahat dan tidak perlu repot pergi mencari makanan ke luar.
    Selain itu dibangun juga candi bentar sebagai penunjang estetik dan ciri khas di Bali.

  • Pelinggih Ratu Ngurah dan Baruna
    Masyarakat Bali percaya bahwa segala sesuatu di alam semesta ini saling berhubungan, baik benda hidup, benda mati, sesuatu yang tampak, bisa dirasakan ataupun tidak.
    Mungkin secara sederhana bisa dianalogikan seperti molekul kimia yang akan selalu berubah-ubah ketika bersenyawa dengan molekul lainnya. Misal, ketika Hidrogen bersenyawa dengan Oksigen, terbentuklah air. Hidrogen itu tidak hilang, oksigen pun tidak hilang, tapi mereka menjadi 1 kesatuan berupa air yang memiliki wujud dan karakteristik yang jauh berbeda dari kedua unsur tadi.
    Air ini pun bisa dicampur dengan senyawa lainnya. Misal dengan kopi menjadi air kopi, dengan zat lainnya bisa menjadi minuman ringan atau bersoda, menjadi kuah sup, bahan mesin uap, dan lain-lain.
    Jadi pada intinya, kita percaya apa pun yang terjadi dan yang kita lakukan akan mempengaruhi segala sesuatu di alam semesta ini.

    Ada 2 kejadian menarik sehubungan dengan ini.

    Pelinggih Ratu Ngurah
    Setelah dibangun dapur baru/kantin itu, semua staff sangat terbantu dan bisa dengan leluasa menggunakan fasilitas ini dengan nyaman. Tapi sering juga terjadi hal-hal kecil yang tak terduga di sana ataupun di dalam areal resort lainnya.
    Hingga pada suatu hari, ketika juru masak Ni Ketut Santun sedang menyiapkan makanan untuk para karyawan, terjadi kebakaran yang tidak terlalu besar di dapur itu, tapi cukup menghebohkan. Karena ada beberapa barang berbahaya, seperti gas yang mudah meledak di area yang tidak begitu jauh dari dapur. Semua orang berusaha membantu memadamkan api dan memindahkan barang-barang berbahaya ke tempat yang lebih aman. Ada 1 orang staff I..., saking paniknya, ia mengangkat dan memindahkan sebuah tabung gas besar seukuran orang dewasa yang terisi penuh seorang diri. Biasanya tabung ini memerlukan 3-4 orang dewasa untuk menurunkan dari truk supplier dan meletakan di tempatnya. Kadang-kadang ketika orang panik, bisa melakukan hal-hal luar biasa.
    Tak lama kemudian truk pemadam kebakaran tiba dan membantu memadamkan api dengan tuntas. Dan semuanya kembali aman. Tinggal membersihkan sisa-sisa bagian yang kotor dan merapikan kembali.

    Seperti kebiasaan di Bali pada umumnya, pemilik kemudian berusaha meluasin untuk mencoba memahami kenapa kebakaran ini bisa terjadi, termasuk segala kejadian aneh lainnya. Mengingat pencetusnya yang tidak seberapa, tapi bisa membuat kobaran api yang besar. Dan kobaran api yang besar itu untungnya kebetulan juga tidak mengakibatkan kerusakan yang parah.
    Kalau dipikir secara logis: dengan munculnya resort ini beserta orang-orang dan aktivitasnya, telah mengubah keharmonisan dan stabilitas alam/ekosistem sekitar yang ada sebelumnya. Walaupun sudah berusaha dengan sebaik-baiknya untuk tetap menjaga keharmonisan ini, tentu ada saja beberapa hal yang tidak sengaja terlupakan/terlewatkan. Dalam kepercayaan Bali, biasanya alam semesta akan berusaha memberitahu kita bila ada ketidakharmonisan. Karena keterbatasan cara komunikasi manusia, tanda-tanda alam itu dianggap sebagai kejadian-kejadian aneh. Bagusnya, ada beberapa orang tertentu yang bisa membantu "komunikasi" ini supaya bisa dimengerti.
    Atas petunjuk yang diperoleh, disarankan untuk mendirikan Pelinggih Ratu Ngurah untuk melinggih diiringi semua yang lainnya, untuk membantu memulihkan keharmonisan segala aspek sekala dan niskala sesuai dengan kepercayaan di Bali. Lalu dibangunlah pelinggih ini di dekat Candi Bentar.
    Sejak saat itu, kejadian-kejadian aneh tidak terjadi lagi. Mungkin secara analogi mudahnya, "reaksi kimia" akibat segala tindakan di resort itu menjadi stabil dengan penambahan ini.

    Linggih Batara Baruna
    Semua sudah berjalan dengan baik sekarang. Semua keseharian berjalan dengan normal. Kegiatan mebanten sehari-hari, salah satunya di Penunggun Karang yang ada di pinggir pantai tetap dilaksanakan sambil ngayat juga kepada Batara Baruna dari situ karena jarak Pura Segara yang cukup jauh, sebagai rasa terima kasih untuk pantainya.

    Pemilik sangat gemar memancing di laut Jimbaran. Pada setiap kesempatan di musim yang bagus ia sering pergi memancing. Kadang di pagi, sore atau malam hari, dari pinggir pantai ataupun ke tengah laut. Sering kali hasilnya sangat memuaskan, karena memang tersedia berbagai jenis ikan di pantai ini. Bila pergi melaut, sering kali ditemani oleh Pak Rungkig, seorang nelayan lokal yang juga sempat bekerja beberapa waktu di Puri Bali, terutama ketika musim angin kencang dan tidak aman untuk melaut.

    Pemilik baru-baru ini membeli speed boat baru bermesin modern pada saat itu. Dengan sangat bersemangat pergi memancing bersama beberapa orang beberapa kali.
    Pada suatu pagi, ketika boat mendarat dan masih terapung di air dangkal di pinggir pantai, pemilik meloncat ke luar untuk berjalan ke darat, seperti yang selama ini biasa dilakukan. Akan tetapi ketika masih berada di dekat boat, ombak datang dan membuat pangkal pahanya tertabrak sedikit. Tidak keras dan tidak ada rasa sakit, tapi darah mengucur deras dari balik celana yang tidak robek. Segera ia pergi ke dr. Cokorda Subamia, kerabat/dokter terdekat yang sering menangani para tamu, karyawan maupun keluarga, untuk mendapatkan pertolongan pertama.
    Setibanya di sana, darah dibersihkan dan ternyata hanya luka gores kecil yang ringan. Untung saja tidak terjadi hal yang serius, mengingat darah yang mengalir tanpa henti seperti terjadi luka parah.
    Kemudian mencari tahu lagi kira-kira mengapa ini terjadi. Berdasarkan pentunjuk, ternyata Batara Baruna juga berkenan untuk melinggih bersama di Pelinggih Ratu Ngurah ini. Sejak itu, disiapkan lah 2 daksina di sana.

    Selanjutnya, berdoa bersama yang diadakan setiap Purnama Kasa dipusatkan di area ini.
    Boat itu kemudian dihadiahkan kepada Anak Agung Ngurah Manik Parasara, raja Pemecutan pada saat itu dengan gelar Ida Cokorda Pemecutan XI karena kegemaran yang sama dan hubungan erat yang terjalin selama ini.

Hotel Melati

Perlahan, pembangunan secara umum di Bali semakin berkembang. Demikian juga dengan sektor pariwisatanya. Listrik, air bersih dan telepon sudah bisa dinikmati juga di Jimbaran.
Sejalan dengan perkembangan ini, desa Jimbaran mulai dikenal di manca negara dan dalam negeri. Puri Bali juga mulai berbenah dengan adanya fasilitas ini untuk dapat lebih meningkatkan kualitas dan pelayanan.
Kemudian dibangunlah beberapa villa tambahan, sebuah kolam renang, dan restoran yang tadinya di belakang, dipindahkan di sebelah restoran. Loby dan reception diperluas, serta ditambahkan sebuah butik di dekatnya. Sekarang semuanya terlihat semakin indah dan tertata.

Ketersediaan listrik sangat membantu keseharian. Walaupun masih sering terjadi pemadaman yang random, tapi sangat membantu mengurangi beban mesin genset yang ada.
Air tawar akhirnya tersedia. Awalnya agak aneh rasanya mandi dengan air tawar, karena sudah terbiasa dengan air payau. Tapi hanya dalam seminggu saja, kita telah melupakan air payau.
Telepon, benar-benar sangat membantu. Sekarang banyak pekerjaan yang bisa diselesaikan melalui telepon. Tidak lagi harus datang langsung ke Denpasar hanya sekedar untuk bertanya ataupun berdiskusi.
Oya, untuk komunikasi real-time saat itu, masih menggunakan mesin telex. Hanya beberapa orang saja yang bisa mengerti pesan pendek telex yang diterima. Tapi itu sudah seperti alat canggih yang luar biasa.

Tak lama kemudian, beberapa villa ditambahkan lagi di sebidang tanah kecil yang dibeli beberapa waktu sebelumnya, di dekat candi bentar.
Sekarang jumlah total, ada 43 kamar dan fasilitas-fasilitas penunjang lainnya. Karena penambahan ini, izin Puri Bali berubah menjadi Hotel Melati.

Tokoh-Tokoh Terkenal dan Tamu Spesial

Sejak berdirinya Puri Bali dan dalam perjalanannya, beberapa kali sempat dikunjungi oleh selebriti legendaris internasional, nasional dan juga tokoh-tokoh penting. Untuk menghormati privasi mereka, tidak disebutkan identitasnya di sini. Selain individual, pernah juga sekumpulan anggota club olah raga dan club lainnya.

Selain itu ada beberapa tamu spesial yang selalu menyempatkan diri datang dan datang lagi, setiap ada kesempatan. Ada satu yang sangat menarik. Seorang pria Jerman. Pertama kali dia menginap di Puri Bali karena tidak sengaja, "terjaring" di airport. Dia senang menghabiskan waktu duduk di bawah pohon di sebelah loby menghadap ke restoran di pantai, sambil menikmati pemandangan atau kadang berbincang-bincang dengan siapa saja yang kebetulan ada di sana. Setiap kali ia datang kembali, ia selalu duduk di sana. Hingga suatu hari ketika hotel sudah banyak berubah, tempat duduk itu sudah berubah fungsi dan pemilik sudah tidak aktif lagi di sana, tamu ini tidak pernah datang lagi.
Setelah bertahun-tahun berlalu, tiba-tiba dia datang lagi. Sudah tua dan para staff yang baru tidak ada yang mengenalinya. Dia bercerita dulu dia menginap berkali-kali dan kali ini ia ingin mengenang masa-masa itu lagi. Pemilik kemudian datang menyambutnya dan mereka berbincang-bincang seperti keluarga yang telah lama tidak berjumpa. Mereka sangat senang bisa bernostalgia mengenang masa-masa lalu dan bisa bertemu lagi di tempat yang sama (walaupun sudah banyak perubahan sejak terakhir kali ia berkunjung).
Setelah beberapa hari menginap di sana, ia kembali ke negaranya. Setelah beberapa waktu kemudian pemilik mendapat kabar bahwa tamu itu meninggal. Sepertinya dia memang ingin menikmati dan mengenang suasana Jimbaran di akhir hayatnya. Dan untunglah ia sempat melakukannya.

Perkembangan

Seiring perjalanan waktu, hotel pun terus berkembang dan mulai dikenal di Bali dan luar negeri. Terutama di Eropa, Amerika dan Australia.
Hal ini membuat Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra tertarik untuk mengetahui lebih jauh mengenai Puri Bali. Karena I Gusti Ketut Putra, pemilik sekaligus pendirinya adalah satu-satunya pionir yang mendirikan hotel dan mempromosikan pariwisata Jimbaran ke manca negara pada saat itu. Sehingga dunia mulai mengetahui keindahan daerah pantai selain Sanur dan Kuta yang sudah lebih dulu terkenal.

Kunjungan%20Gubernur
(dari kiri: Pak Ganda, staff, IGK Putra, I Made Pugeg (mertua), Ida Bagus Mantra)

Dalam kunjungan itu, Gubernur sangat terkesan dengan kisah perjalanan berdirinya hotel Puri Bali sejak dimulai hingga saat itu. Terutama berkaitan dengan semua kendala yang dihadapi di masa awal.
Menurutnya, orang-orang pintar dengan pendidikan sangat tinggi sekalipun, tidak akan berani mengambil risiko membangun dan mengoperasikan hotel tanpa ketersediaan air tawar, listrik, telepon, alat transportasi yang memadai dan fasilitas penunjang lainnya.
Selain itu Puri Bali adalah salah satu pembayar pajak terbaik. Oleh karena itu dengan bangga Gubernur Bali merekomendasikan Puri Bali kepada Presiden Republik Indonesia, Soeharto untuk mendapatkan penghargaan yang layak.

Berdasarkan hasil inspeksi Gubernur, ternyata Puri Bali sangat memuaskan di setiap kriteria. Dan kemudian dipanggilah I Gusti Ketut Putra yang pada saat itu berumur 31 tahun untuk dianugrahkan penghargaan oleh Presiden Republik Indonesia, Soeharto untuk dua kriteria penting:

Presiden
(Presiden RI, Soeharto dan I Gusti Ketut Putra)

  1. Penghargaan sebagai pembayar pajak terbaik.
  2. Penghargaan sebagai satu-satunya pengusaha lokal termuda yang mampu memenuhi kriteria hotel terbaik.



<< Jimbaran                   Chapter 2 - The Pansea Puri Bali >>